Wiji Thukul Aktivis yang Hilang

Bunga Cindra
3 min readMar 28, 2021

“Saya tidak bisa menulis.” Jawabku kepada seorang kawan.

“Tidak harus menulis. Lagipula, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.” Bentaknya.

Itulah percakapan terakhir kami. Selang beberapa bulan dari pertemuan kami, Thukul merilis sajak yang ditulisnya dan lagi-lagi ia berhasil menggentarkan pemerintah. Mengetahui hal itu, aku tahu bahwa hal buruk itu akan terjadi. Aku berusaha mencari kabar tentang keberadaan Thukul, tapi nihil. Semenjak hari itu, ia hilang bak ditelan bumi.

Sebetulnya, Thukul sudah beberapa kali mendapatkan represi karena puisi-puisinya. Ia telah menjadi buronan selama beberapa bulan terakhir. Ia pergi dari satu kota ke kota lain, mendatangi para kawannya untuk mencari tempat bersembunyi dari kejaran para aparat. Walau dihantui rasa takut Thukul tetap tak gentar, selama pelariannya ia tetap menulis puisi-puisi yang mengkritik rezim pada masa itu. Sembunyi-sembunyi aku membaca puisinya, pengecut sekali memang aku ini.

Aku masih ingat betul saat kami semua berkumpul di warung kopi sambil mendengarkan radio yang isinya hanya memberitakan hal-hal baik tentang pemerintahan. Kami semua berbincang berbisik-bisik tentang bagaimana mirisnya rezim ini.

“Aneh sekali, berita-berita ini. Rakyat sengsara tapi hanya pemerintah yang dijunjung.” Ucap Thukul kesal.

“Tidak aneh.”

“Sstt, kecilkan suaramu.” Ucap salah satu kawan kami, Parno.

“Ya kau benar, mereka yang memperjuangkan kemerdekaan tapi mereka mengkhianati apa yang mereka perjuangkan.”

“Kau masih suka menulis puisi kah?” Tanyaku pada Thukul.

“Tentu.” Jawabannya seakan tidak takut pada apapun.

“Kau tidak takut?” Tanya kawanku yang lain.

“Aku penulis, aku menulis sekalipun teror mengepung.” Ucap Thukul sambil terkekeh yang sukses membuang kami semua salut akan keberaniannya.

“Kalian juga harus berani, kalian ini kan orang pelajar. Berbeda dengan saya yang sekolah menengah pun tidak selesai.” Ucapnya sambil tertawa renyah.

Malu rasanya bila mengingat ucapannya. Kami yang mendapat gelar, tiap hari membaca buku tetapi memilih untuk bungkam. Namun, Thukul yang hanya pernah mengecap pendidikan bangku sekolah menengah, bahkan hanya sampai kelas 2 berani mengkritik pemerintah lewat puisinya dan berhasil membuat cemas pemerintah. Ia bagaikan mimpi buruk bagi pemerintah. Ia memberontak mengatasnamakan suara-suara masyarakat kecil.

Setelah beberapa bulan setelah pertemuan kami, setelah Thukul menghilang entah dimana, akhirnya kami berhasil meraih demokrasi, rezim ini akhirnya tumbang. Kami, mahasiswa dan masyarakat bersama-sama merayakan demokrasi yang telah kami perjuangkan dan cita-citakan selama ini.

Saat itu kami bersama-sama menyaksikan pidato Pak Soeharto, pidato itu hanya berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Setelah pidato itu selesai Pak Soeharto meninggalkan ruang Credentials, kami semua bersorak saling berpelukan, memberi selamat.

“Merdeka!”

“Allahu Akbar!”

Kami berkumpul di gedung MPR, bersorak ria, berlari membawa sang pusaka merah putih sambil berteriak, “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Banyak dari kami yang menangis haru. Para polisi dan aparat menyambut kami hangat, memberi kami selamat begitu pula kami memberi mereka selamat.

“Pak, merdeka Pak.” Ucap salah satu demonstran kepada salah satu polisi, mereka saling berpelukan.

Aku berusaha mencari-cari keberadaan Thukul. Namun, Thukul sama sekali tidak terlihat di antara kerumunan orang-orang yang sedang merayakan demokrasi, padahal momen ini adalah momen yang selalu dia perjuangkan. Alih-alih merayakan demokrasi, nama Thukul justru masuk ke dalam list nama-nama para aktivis kasus penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi, bersama 12 orang lainnya. Remuk hati ini.

Sampai hari ini, Thukul telah menghilang selama kurang lebih 22 Tahun. Kisah perjuangan Thukul dan kasus hilangnya tak seharusnya dilupakan karena tergilas zaman. Kita bisa bebas berdemokrasi seperti sekarang ini, salah satunya adalah karena perjuangannya dan para pejuang lainnya yang rela bonyok memperjuangkan demokrasi.

Wahai kalian generasi muda, kami sudah susah payah berjuang demi demokrasi ini. Kebebasan berpendapat telah kalian dapat, janganlah kalian jadikan kebebasan ini sebagai bumerang yang bisa memecahkan dan menghancurkan bangsa ini. Wahai generasi muda, kami titip negara ini pada kalian, tolong kalian jaga jangan sampai sejarah terulang. Untukmu Thukul, terima kasih kawan, karya dan perjuanganmu akan selalu kami kenang.

--

--

Bunga Cindra

Amateur writer who loves to write poetry, essay, short story, anything about self-development. Writing in English and Indonesia 🍃